Opsi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
diprediksi tidak berdampak signifikan bagi perekonomian Sulsel. Ekonomi
masyarakat bisa tetap stabil kendati kenaikannya mencapai Rp1000 per
liter.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulsel, Zulkarnain
Arief mengatakan, Sulsel memiliki potensi sebagai produsen yang tidak
dimiliki negara lain. Kendati biaya produksi naik akibat kenaikan harga
BBM, tetapi kegiatan ekspor juga memberi nilai tambah..
Zulkarnain yang juga menjadi juru bicara Kadin pada pertemuan
membahas rencana pembatasan subsidi BBM di Komisi VII DPR-RI mengaku
optimistis kenaikan harga BBM memberi pertumbuhan ekonomi yang lebih
baik.
"Pemerintah pernah menaikkan harga BBM hingga ke level Rp6000
dan semua kegiatan ekonomi tetap berjalan baik. Sekarang akan dinaikkan
Rp1000 per liter menjadi Rp5500 dan dipastikan ekonomi juga tetap akan
tumbuh positif," tuturnya.
Pengurangan subsidi BBM dengan opsi menaikkan harga sebesar
Rp1000 per liter dinilai sebagai pilihan yang realistis dibanding
membatasi subsidi BBM.
Memang, pembatasan subsidi BBM dengan menaikkan harga sebesar
Rp3000 per liter untuk kendaraan pribadi, pengusaha, dan industri bisa
menghemat atau mengurangi beban subsidi pemerintah hingga Rp100 triliun.
Namun, masalah lain juga bisa timbul di antaranya
penyelundupan BBM dan kecurangan dengan dalih pengguna adalah untuk
angkutan umum massal atau nelayan. Padahal, penggunaan untuk industri.
Opsi menaikkan harga BBM hingga Rp3000 per liter juga
bisa mengurangi penggunaan BBM jenis premium dan beralih ke pertamax.
Padahal, pertamax bukan produk dalam negeri, melainkan produksi luar
negeri.
Zulkarnain menuturkan, opsi menaikkan harga BBM bisa menghemat keuangan negara dengan mengurangi subsidi hingga Rp48 triliun. Pengurangan subsidi ini bisa dialokasikan dengan memberikan subsidi langsung ke masyarakat dalam berbagai bentuk.
"Opsi menaikkan harga BBM kemudian pengurangannya untuk
subsidi langsung yang kemungkinan akan diterapkan. Kemungkinannya masih
akan dilihat dalam satu atau dua pekan ke depan," katanya.
Namun pastinya, subsidi BBM harus dihilangkan secara perlahan untuk menyelamatkan keuangan negara.
Terpisah, pengamat ekonomi Unhas, Dr Syarkawi Rauf
mengemukakan, dua opsi yang dihadapi saat ini yakni pengurangan subsidi
atau menaikan harga, membuat pemerintah dalam posisi yang dilematis.
Jika harga BBM dinaikkan maka itu akan memicu kenaikan harga
seluruh kebutuhan masyarakat yang berakibat penurunan daya beli
masyarakat. Kondisi ini bisa memicu peningkatan angka kemiskinan.
Sementara opsi mempertahankan subsidi menjadi beban APBN.
"Beban subsidi tidak menentu dan pasti akan terus meningkat karena harga
minyak dunia juga tidak menentu, yang pasti harga minya dunia terus
naik," kata Syarkawi yang dihubungi via telepon malam tadi.
Namun demikian, Syarkawi menilai akan lebih efektif jika
pemerintah memilih untuk menaikkan harga dibanding mempertahankan
subsidi yang kian membengkak. "Jika menaikkan harga maka pemerintah bisa
leluasa membelanjakan anggaran subsidi yang mencapai 180 trilun untuk
kepentingan pembangunan," jelasnya.
Tidak masalah, kata Syarkawi, jika pemerintah
menaikkan harga hingga Rp500 per liter, dengan catatan pemerintah harus
menyiapkan program untuk mengantisipasi dampak yang dirasakan oleh
masyarakat kurang mampu.
Harga Tengah
Rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi terus dimatangkan. Berbagai
opsi pun bermunculan. Kini, salah satu yang menguat adalah munculnya
opsi premium harga tengah untuk mobil pribadi.
Anggota Komisi VII DPR Satya W. Yudha mengatakan, adanya premium
harga tengah tersebut merupakan opsi yang paling memungkinkan untuk
dilaksanakan per 1 April 2012 nanti. "Intinya, untuk sepeda motor dan
angkutan umum tetap Rp4.500 per liter, sedangkan untuk mobil pribadi
Rp6.400 per liter," ujarnya kemarin.
Menurut Satya, harga Rp6.400 per liter tersebut berasal dari harga premium
tanpa subsidi Rp8.000 per liter, dikurangi pajak BBM yang dibebaskan
sekitar Rp1.600 per liter, sehingga harga premium menjadi Rp6.400 per
liter. "Selama ini, pemilik mobil pribadi kan banyak yang keberatan jika
diminta beralih ke Pertamax yang harganya Rp8.500 per liter. Nah,
Premium Rp6.400 per liter ini bisa jadi jalan tengah bagi pemilik mobil
pribadi, sehingga tidak terlalu memberatkan," terangnya.
Satya menyebut, skema ini berbeda dengan menaikkan harga BBM
subsidi. Sebab, Premium subsidi untuk sepeda motor, angkutan umum, dan
UMKM masih tetap Rp4.500 per liter. “Mobil pribadi kan tidak
boleh mengkonsumsi premium subsidi, karena itu diberi opsi premium
nonsubsidi dengan insentif pembebasan pajak.”
Menurut Satya, skema tersebut juga lebih fair karena rakyat
yang tidak mampu tetap dapat membeli BBM dengan harga murah,
dibandingkan jika kenaikan harga BBM diberlakukan untuk semua konsumen.
"Dengan skema Premium harga tengah itu, penghematannya bisa sampai Rp12
triliun," sebutnya.
Selain itu, karena tidak menaikkan harga BBM subsidi,
pemerintah dan DPR tidak perlu menunggu revisi UU APBN 2012 yang bakal
membutuhkan waktu berbulan-bulan. "Sehingga, tetap bisa dijalankan mulai
1 April 2012 nanti," ucapnya.
Keunggulan lain dari opsi ini, lanjut Satya, SPBU tidak perlu melakukan switching besar-besaran
dari tanki Premium ke Pertamax. Sebab, SPBU masih bisa melayani mobil
pribadi yang ingin membeli Premium nonsubsidi. "Jadi, sudah pasti bisa
jalan. Tinggal dioptimalkan saja pengawasannya," ujarnya.
Sementara itu, peluang menaikkan harga premium untuk mengurangi
subsidi BBM semakin menguat. Badan Pusat Statistik (BPS) menilai harga
bensin premium bisa dinaikkan sebesar Rp500-Rp1000 per liter karena
tidak akan mempengaruhi inflasi.
“Kalau inflasi bisa rendah terus (sama seperti tahun 2011-red)
tidak usah khawatir menaikkan harga BBM. Tapi besarannya itu yang harus
kita hitung dulu. Bisa Rp500, bisa Rp1.000 (per liter),” ujar Pelaksana
Tugas (Plt) Kepala Badan Pusat Statistik, Suryatmin di kantor Wakil
Presiden Jl Merdeka Selatan kemarin. Namun begitu, dia menilai BPS perlu
memiliki data yang lain untuk menunjang perhitungan itu.
BPS menilai, saat ini situasi cukup kondusif jika dipandang
dari sisi laju inflasi yang rendah, yakni 3,79 persen hingga akhir 2011
lalu. Itu di bawah angka perkiraan pemerintah yang sama untuk tahun 2011
yaitu sebesar 5,3 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar